Budaya Multikultural Hadapi Tantangan
Penulis : Ester Lince Napitupulu | Selasa, 8 Mei 2012 | 18:29 WIB
KOMPAS/LUCKY PRANSISKAYudi Latif
KOMPAS/LUCKY PRANSISKAYudi Latif
BANDUNG, KOMPAS.com — Budaya Nusantara Indonesia pada dasarnya senantiasa terbuka untuk menerima aneka budaya dari suku-suku bangsa dan peradaban dunia. Sayangnya, budaya multikultural bangsa ini belumlah menjadi kekuatan dan keunggulan bagi Indonesia untuk menjadi bangsa besar dan maju di dunia.
Indonesia sebagai negara multikultural yang biasa hidup dalam perbedaan dan saling menerima justru mulai mengembangkan hidup dalam permusuhan dan saling benci. Ada pemaksaan kekayaan Indonesia sebagai negeri multikultural dijalankan dengan kebudayaan monolitik dari kelompok dominan.
Persoalan ini mengemuka dalam seminar nasional bertajuk "Peran Kebudayaan untuk Kemajuan Bangsa" di Bandung, Selasa (8/5/2012). Seminar digelar Nabil Society bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan dan Harian Kompas
"Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, konsepsi kebudayaan yang ditawarkan hendaknya tidak bersifat monolitik," kata Yudi Latif dari Reform Institute.
Menurut Yudi, tantangan demokrasi Indonesia ke depan bagaimana mewujudkan pengakuan politik dan politik pengakuan yang menjamin hak individu ataupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Arie Indra Chandra, pengajar di Universitas Katolik Parahyangan, mengatakan, banyaknya suku dengan kekhasan budayanya sebenarnya membuka peluang terjadinya budaya Indonesia yang lebih kaya, lebih kenyal, serta lebih terbuka dalam melakukan perubahan.
Demi kejayaan Indonesia, harus dipilah-pilah unsur-unsur budaya yang diperlukan bagi pembangunan menuju kemakmuran. "Sayang, persilangan budaya dari apa yang dimiliki sendiri oleh bangsa ini untuk membentuk budaya unggul tidak terjadi. Yang ada, justru terbentuk budaya kalah yang bangga pada kebudayaan lain," ujar Arie.
Yasraf Amir Piliang, pengajar di Institut Teknologi Bandung, mengatakan, saat ini terlihat tidak ada keinginan untuk melakukan silang budaya. Masyarakat Indonesia berada dalam "jarak" kultural.
Situasi kehidupan bangsa saat ini justru memelihara ketertutupan, tidak berdialog atau berkomunikasi. Akibatnya, selalu timbul konflik dan kecurigaan.
Oleh karena itu, kunci dalam kehidupan bangsa plural dalam menjaga keberlanjutan sebagai suatu bangsa seharusnya ada keinginan untuk memahami dan memperlakukan orang lain dengan baik dan setara supaya tidak terjadi konflik, permusuhan, dan kekerasan lintas budaya.
Sumber :
Editor :
Marcus Suprihadi
OPINI :
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, konsepsi kebudayaan yang ditawarkan hendaknya tidak bersifat monolitik. Maksudnya disini Budaya monolitik, yaitu budaya yang mempunyai sifat atau menyerupai monolitik (kesatuan berorganisasi yang mempunyai kekuatan tunggal dan tangguh). Praktek budaya monolitik ini dipakai oleh regim Soeharto untuk memperpanjang kekuasaannya selama 34 tahun. Apa yang dikenal di Indonesia dengan kelompok kuning partai Golkar benar-benar mempunyai kekuatan tunggal ketika Soeharto berkuasa.
Untuk menjaga agar keanekaragaman budaya di Indonesia tetap bersatu dan tidak terjadi perselisihan, permusuhan dan konflik maka dibutuhkanlah keserasian baik antar masyarakat, pemerintah maupun masing-masing kelompok budaya yang beranekaragam. Dengan adanya kesatuan ini maka terjalinlah kekuatan dan keunggulan multikultural bangsa ini sehingga Indonesia bisa menjadi bangsa besar dan maju di dunia.