Media Massa Bisa
Dituding Sebarkan Teror
Jurnalis : krj5 | Jumat, 25 Maret 2016 | 05:46 WIB
Ketua Dewan Pers Yoseph Stanley Adi Prasetyo saat menyampaikan materi. (Foto : Ivan Aditya)
YOGYA (KRjogja.com) - Media massa bisa dituding ikut
menyebarkan teror atau ketakutan jika tak cerdas dalam mengemas dan menyajikan
berita. Penyajian yang berlebihan justru tak memberikan informasi, namun malah
akan menciptakan kepanikan di tengah masyarakat. Hal tersebut diungkapkan Ketua
Dewan Pers, Yoseph Stanley Adi Prasetyo dalam acara Diseminasi Pedoman
Peliputan Terorisme dan Peningkatan Profesionalisme Media Massa dalam Meliput
Isu Terorisme di Kantor PWI Cabang Yogyakarta, Kamis (24/03/2016).
“Sebenarnya terorisnya sudah meninggal lewat 'suicide bomber' tapi pesan
teroris justru kita teruskan. Hal itu akan membuat orang panik dan membuat
orang takut,” jelasnya.
Pada peristiwa pemboman Kawasan Thamrin dan Sarinah beberapa waktu lalu
misalnya, media massa saling berlomba menyajikan kecepatan namun mengabaikan
akurasi berita. Tak jarang informasi dari media sosial ikut dijadikan sebagai
berita tanpa melakukan verifikasi, setelah ditelusuri ternyata itu kabar
'hoax'.
Stanley berharap wartawan dapat lebih cerdas dan menyajikan fakta-fakta
hasil peliputan di lapangan. Selain itu narasumber yang dipilih juga harus
merupakan pihak-pihak yang berkompeten untuk memberikan pernyataan serta tak
melibatkan opini pribadi dalam berita.
Sementara itu Ketua PWI Cabang Yogyakarta, Sihono Harto Taruno mengatakan,
wartawan bukan penyebar kebencian. Sebagai penyampai informasi, wartawan harus
membuat karya jurnalistik yang menolak paham penyebar kebencian.
“Seorang pembuat karya jurnalistik harus berkesadaran, berpengetahuan dan
berketerampilan tinggi di bidang kewartawanan. Kesadaran ini terkait dengan
pemahaman dan ketaatan pada kode etik jurnalistik, tunduk pada undang-undang
dan pedoman,” jelasnya. (Van)
Komentar :
Berdasarkan artikel yang tertera diatas pelanggaran Kode Etik merupakan salah
satu pelanggaran yang harus dituntaskan dengan baik oleh pemerintah khususnya
Dewan Pers. Seharusnya Dewan Pers memberikan sanksi yang tegas kepada media
televisi yang memberitakan isu yang tidak benar.
Pelanggaran yang dilakukan oleh wartawan yang disebutkan dalam artikel diatas merupakan
suatu pelanggaran yang sangat buruk. Dikarenakan adanya isu hoax tentang peristiwa pemboman kawasan
Thamrin dan Sarinah yang membuat masyarakat panik dan takut dengan berita yang disiarkan oleh
media massa. Menurut saya, perlu adanya kerjasama antara wartawan berita
tersebut dengan pemerintah atau aparat yang berwajib untuk bisa mendapatkan
berita yang faktual, sah, dan akurat agar tidak menimbulkan isu atau opini
pribadi yang sumbernya tidak jelas. Karena dapat menimbulkan suatu hoax yang menimbulkan kecemasan atau ketakutan pada
massa.
Ketika sebuah media televisi menyiarkan berita yang kurang baik seharusnya
pemerintah dalam hal ini Dewan Pers memberi teguran dan sosialisasi yang baik
agar pembuat karya jurnalistik berkesadaran, berpengetahuan dan berketerampilan
tinggi di bidang kewartawanan. Sehingga tidak akan terjadi pelangaran pada kode
etik jurnalistik dan tunduk pada undang-undang dan pedoman yang ada.
Kesimpulannya, bahwa sebuah berita yang tidak benar (hoax) dapat memicu
tindakan yang tidak baik, sehingga menimbulkan kekacauan pada masyarakat. Oleh
karena itu sebuah media berita harus berlandaskan sumber yang baik dan jelas
serta sesuai dengan kode etik jurnalistik dan tunduk pada undang-undang dan pedoman yang ada agar berita yang dihasilkan akurat dan faktual.
Source :